Cinta yang Tak Terucap




Cinta yang Tak Terucap

Oleh: Nur Budianah


"Surga berada di bawah telapak kaki ibu."


Kalimat hadits tersebut selalu terngiang keras di telinga Ana. Betapa ia ingin sekali meraih surgaNya melalui ridha ibunda tercinta yang telah mengandungnya dengan kepayahan dan melahirkannya di dunia ini dengan perjuangan antara hidup dan mati serta menyapihnya selama 2 tahun dengan kelelahan yang tidak pernah dikeluhkan sang ibu sama sekali.


Peristiwa itu ingin sekali Ana hapus dari ingatannya, namun selalu saja sesekali terbersit. Biarlah Allah saja yang Maha Tahu akan isi hatinya.


Sore itu Ana sedang mengandung anak ke 4 nya dan di saat itu pula ia semakin bingung karena emosi, sedih, galau semua berkecamuk dalam dirinya. Ia berusaha keras untuk tetap tenang karena ia khawatir apa yang ia rasakan akan berdampak buruk pada kandungannya.


"Aku bingung mas Doni, mba Susi. Di satu sisi Rangga tidak memberikan restu untuk memberikan anak yang akan lahir ini kepada mba Sinar. Di satu sisi mama meminta dan menyuruh Ana memberikan anak yang akan lahir ini kepada mba sinar" jelas Ana dengan mata berkaca-kaca, tenggorokan tercekat menahan meledaknya tangisan.


"Sekarang kamu bahas dulu berdua sama Rangga, pikirkan matang-matang semua hal dari kemungkinan terbesar sampai terkecil dampak ke depannya" mas Doni menenangkan Ana dengan nasihatnya.


Mas Doni adalah kakak tertua Ana dan mba Susi adalah istri mas Doni. Rangga adalah suami Ana, yang pembawaannya tenang dan teduh sangat bertolak belakang dengan Ana yang mudah terpancing emosi, terlebih ketika Ana sudah pusing tujuh keliling mencari solusi.


Mba Sinar adalah kakak kedua Ana yang sudah hampir 20 tahun ini belum memiliki seorang pun anak, ia dan suami ditakdirkan sangat beruntung di sisi rezeki harta namun tidak di sisi rezeki keturunan. Sebaliknya Ana dan Rangga ditakdirkan sangat beruntung di sisi rezeki keturunan, namun tidak di sisi rezeki harta.


"Aku nggak mengizinkan yah An jika harus memberikan salah satu anak kita ke mba Sinar dan mas Tio. Mereka itu sangat sibuk, keduanya bekerja dan aku lihat mereka memang belum siap secara mental. Buktinya apa-apa masih minta bantuan mama, bagaimana kalau harus ngurus anak kita? Yang ada ana kita jadi lebih dekat dengan nenek kakeknya" tolak Rangga dengan memberikan gambaran dampak ke depan.


Entah sudah tertekan seberapa dalam emotional Ana, hingga hampir saja membuatnya depresi. Ia mengendarai motor dengan pikiran dan penglihatan yang tidak fokus.


"Sudahlah lebih baik kamu nggak usah lahir de, pusing mama dengan semua ini" gumam Ana dalam lamunannya, dan segera beristighfar.


"Astaghfirullah ngomong apa sih kamu An itu kan doa, ingat kamu sedang hamil. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan kandunganmu?" Ana berusaha tetap berada dalam kesadaran penuhnya.


8 bulan usia kehamilannya, benar saja dengan segala kondisi yang muncul. Ketuban yang tiba-tiba mengalir dan tidak bisa diperkuat lagi.


Dokter bilang "Anak ini harus dilahirkan karena ketuban mengalir terus. Beberapa resiko akan terjadi, ibu harus berusaha tetap tenang"


Ana harus diinfus dan diberikan penguat paru dalam infus agar anak ini siap lahir di usia 32 Minggu (moderately patern) yang terbilang belum siap untuk dan matang untuk lahir.


Ana hanya bisa menyerahkan semua yang terbaik pada sang Khalik, dan ia mengusap perutnya mengajak bicara bayi dalam kandungannya.


"Maafin ibu yah nak, mungkin ini akibat perkataan ibu tempo hari saat ibu sedang kalut. Kamu yang kuat yah nak, cepat lahir ke dunia ini agar kita segera bertemu. Ibu yakin kamu sudah nggak sabar bertemu dengan ibu, begitupun dengan ibu"


Rasa syukur terucap dari lisan Ana dan Rangga, anak ke 4 mereka terlahir selamat dengan berat badan 1,4 kg dan mereka beri nama Angga. Namun ujian nggak selesai di sini, anak mereka bernafas lambat bahkan sering berhenti sejenak (apnea) perlu penanganan dan perhatian khusus.


Sangat butuh perhatian dan pengasuhan ekstra, tidak bisa sembarang orang boleh menyentuhnya, bahkan nenek dan kakeknya. Ia hanya boleh sesering mungkin berada dalam dekapan sentuhan langsung kulitnya dengan kulit ibu atau ayahnya. Ia perlu asupan zat besi dan vitamin yang cukup, susu bayi prematur yang harganya cukup membuat mereka kewalahan untuk memenuhi kebutuhan Angga. 


Hingga harus mencari donor ASI untuk keperluan menopang susu bayi prematur sebagai booster berat badan Angga. Bayi tercinta mereka pun harus intens dalam pantauan dokter dan dirawat di ruang PICU. 


Dalam kondisi Ana yang masih dalam kepayahan setelah melahirkan bayinya, ditambah kesedihan luar biasa karena harus berpisah dengan Angga yang dirawat di ruang PICU. 


Pagi itu setelah ana bangun dari tidur nyenyaknya, namun masih terasa lelah. Di ruang tamu Rangga, mba Sinar, mas Tio dan juga mama papa berkumpul dan terdengar percakapan mereka oleh Ana yang membuatnya semakin sedih.


"Begini saja Rangga, kita urus surat dan akta kelahiran Angga atas nama mba Sinar dan mas Tio. Supaya Angga masuk ke tanggungan asuransi perusahaan mas Tio" pinta mba Sinar.


"Sudah sekarang mah fokus dulu urus semua keperluan biaya rumah sakit Angga. Ana sehat, Angga juga sehat, jangan bicarakan hal itu dulu" Syukurnya langsung ditepis dan dialihkan pembicaraan oleh mas Tio.


Hingga tidak terasa Angga sudah sebulan di rawat di PICU, biaya rumah sakit yang tidak sedikit hampir menyentuh angka seratus juta bahkan lebih dengan sejumlah uang di awal yang diberikan mba Sinar & mas Tio, karena saat itu Rangga benar-benar tidak memiliki biaya.


Angga harus terus dipantau semua pertumbuhan dan perkembangannya. Syukurlah Angga tumbuh sehat dan berkembang dengan baik walau memang sedikit terlambat dari anak-anak seusianya, begitupun berat badan nya cukup jauh berbeda dari anak-anak seusianya.


Di usia Angga satu tahun enam bulan, Rangga memutuskan mengambil pensiun dini dari perusahaan tempatnya bekerja. Alasannya pertama dikarenakan kondisi perusahaan yang mengalami penurunan penjualan yang cukup signifikan dan juga Rangga ingin melunasi biaya rumah sakit Angga saat di PICU yang saat itu dibiayai terlebih dahulu oleh perusahaan dan Rangga menyicilnya perbulan.


Kehidupan baru yang bahagia penuh berkah, Rangga dan Ana rasakan kini walau hidup hanya berkecukupan. Terimakasih atas segala nikmat dan karuniaMu ya Allah. 


Maafkan kami yang belum bisa memenuhi permintaan mama papa dan juga harapan mba sinar untuk memberikan Angga pada mba Sinar dan mas Tio. Semoga mama papa memaafkan kami, doa kami juga untuk mba sinar dan mas Tio semoga Allah berikan seorang anak yang manis. Terimakasih atas semua cinta yang kalian berikan untuk aku, Rangga dan Angga.


Nur Budianah

Bekasi, 28 September 2021


Tugas ke 8 tantangan menulis 70 hari

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahkota Terindah dan jubah kemuliaan untukmu Ayah, Ibu

Resume Materi Hari Pertama BM Gel 25-26

Lentera di Hati Bintang